Muhammad Mustafa Azami


MUHAMMAD MUSTAFA ‘AZAMI
Oleh: Edriagus Saputra[1]
A.      PENDAHULUAN
Ilmu Hadis merupakan salah satu ilmu untuk mengetahui kebenaran berita (hadis) yang disampaikan oleh seorang, apakah berita tersebut memang berasal dan bersumber dari Nabi Muhammad SAW atau hanya ucapan para sahabat Nabi, Para Tabi’in dan Para Ulama yang dianggap orang sebagai hadis Nabi Muhammad SAW. Maka melalui ilmu hadis ini, umat Islam dapat mengetahui apakah berita yang didapati tersebut adalah hadis atau hanya kata-kata bijak para ulama dengan tujuan untuk memberikan motivasi kepada orang lain.
Berganti waktu dan zaman, maka ilmu ini semakin berkembang dikalangan para intelektual, sehingga semakin banyak pula para Intelektual Ilmu Hadis yang bermunculan dengan tujuan untuk menjaga Hadis Rasulullah agar tidak dicampuri dan dinodai dari orang-orang yang ingin mempertahankan argumennya, kelompoknya atau orang yang benci terhadap agama Islam dan Nabi Muhammad SAW. Dan para ilmuan tersebut memberikan kontribusinya dalam bentuk pemikiran dan karyanya untuk menjaga dan memelihara hadis, seperti membuat karya dalam bentuk buku yang menjelaskan tentang ilmu hadis atau memberikan bantahan atau argumen kepada mereka yang bertujuan untuk merusak dan menodai kesucian hadis Rasulullah SAW. Di antara ilmuan yang memberikan pemikirannya dan menghasilkan karya yang banyak dalam ilmu hadis, yaitu Muhammad Mustafa Azami.
Untuk lebih jelasnya perjuangan, karya dan pemikiran dari seorang Muhammad Mustafa Azami dalam menjaga dan memelihara kesucian hadis dari orang-orang yang ingin merusak dan menodainya. Maka penulis akan membahasnya dalam bentuk sebuah makalah serta sebagai salah satu Tugas dari Mata Kuliah Pemikiran Hadis Kontemporer pada semester Tiga Prodi Ilmu Hadis Program Magister (S2) Pascasarjana Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang , yang berjudul “ Muhammad Mustafa Azami”.
B.       PEMBAHASAN
1.        Riwayat hidup
Muhammad Mustafa Azami lahir di kota Mano, India Utara pada tahun 1932. Ayahnya adalah pencinta ilmu pengetahuan dan benci terhadap para penjajah serta tidak suka bahasa Inggris. Watak dari ayahnya inilah yang mempengaruhi perjalanan studi Azami, ketika ia masih duduk di SLTA, ia disuruh pindah oleh ayahnya ke sekolah Islam yang menggunakan bahasa Arab dalam proses pembelajarannya. Di sekolah baru inilah, ia mulai belajar hadis. Setelah menyelesaikan pendidikannya di sekolah Islam tersebut, kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke College of Science di Deoband, yaitu sebuah perguruan yang terbesar di India yang juga terfokus kepada Studi Keislaman dan menyelesaikan studinya di sana pada tahun 1952. Setelah itu, ia melanjutkan studinya  di Fakultas Bahasa Arab, Jurusan Tadris, Universitas Al-Azhar, Cairo (Mesir) dan ia menyesaikan pendidikannya di sana pada tahun 1955 dengan memperoleh gelar ijazah al-‘Alimiyah dan pada tahun yang sama, ia balik ke tanah airnya, yaitu India.[2]
Pada tahun 1956 Azami diangkat sebagai Dosen Bahasa Arab untuk orang-orang non Arab di Qatar. Pada tahun1957 ia diangkat sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional di Qatar, yaitu Perpustakaan Darl al-Kutub al-Qatriyah. Pada tahun 1964 Azami melanjutkan kembali studinya ke Universitas Cambridge (Inggris) sampai ia meraih gelar Doktor (Ph.D) pada tahun 1966 dengan judul Disertasinya, yaitu Studies in Early Hadits Literature. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Inggris, Azami kembali ke Qatar untuk memegang jabatan semua, yaitu sebagai Sekretaris Perpustakaan Nasional Qatar. Pada tahun 1968, ia mengundurkan diri dari jabatannya di Qatar dan pindah ke Makkah untuk mengajar di Fakultas Pascasarjana, Jurusan Syari’ah dan Studi Islam, Universitas King Abd al-Aziz (sekarang bernama Universitas Umm al-Qura). Muhammad Mustafa Azami bersama almarhum Dr. Amin al-Mishri juga ikut andil mendirikan fakultas tersebut.[3]
Pada tahun 1973, Muhammad Mustafa Azami pindah ke Riyadh untuk mengajar di Departemen Studi Islam, Fakultas Tarbiyah, Universitas King Saud. Pada Universitas inilah Ali Mustafa Yaqub bertemu dengan Muhammad Mustafa Azami sebagai murid dan guru, setelah Ali Mustafa Yaqub menyelesaikan studinya di Universitas King Saud, ia mendapatkan amanah dari Azami untuk menerjemahkan buku-bukunya. Reputasi Ilmiah Azami melenjit pada tahun 1980 setelah Azami memenangkan hadiah Internasional Raja Faisal untuk Studi Islam dari Lembaga Hadiah Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Setelah itu, Azami tinggal di Perumahan Dosen Universitas King Saud, Riyadh. Dan M. M Azami di Universitas tersebut menjadi Guru Besar di bidang Hadis dan Ilmu Hadis.[4]
2.        Karya-karya Azami
Azami merupakan ulama yang produktif dalam kajian ilmu keislaman, terutama dalam kajian hadis, banyak karya yang dilahirkannya dan ia juga dikenal sebagai pemikir hadis yang mampu memberi warna di kalangan orientalis. Sebagian besar kontribusi Azami, terutama terkait dengan hadis dan kritikan kepada orientalis, dielaborasi dalam empat buku, yakni:
a.    Studies in Early Hadith Literature,
b.    On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence,
c.    Studies in Hadith Methodology and Literature,
d.   Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhaddithin Nash’atuhu wa Tarikhuhu.

               Diantara empat karya Azami ini, yang paling menonjol adalah Studies in Early Hadith Literature, yang terbagi kepada delapan bab pembahasan. Buku ini adalah hasil disertasinya ketika di Universitas Cambridge, Inggris (1966), yang secara akademik dinilai mampu meruntuhkan pengaruh kuat dua orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher (1850-1921) dan Joseph Schacht (1902-1969). Temuan naskah kuno hadis abad pertama Hijriah dan analisis disertasinya secara argumentatif menunjukkan bahwa hadis benar-benar otentik dari Nabi.[5] Dalam bukunya ini, Azami memjelaskan tentang keontentikan hadis Nabi yang menurutnya masih berada pada tataran sumber ajaran Islam yang dapat dipercaya. Hal ini dapat dibuktikannya dengan adanya data-data tentang periwayatan, penulisan, pembukuan ke dalam kitab-kitab kanonik. Buku ini secara khusus banyak membantah teori dan pemikiran Barat tentang keotentikan hadis.
                 Selanjutnya karya Azami yang berpengaruh berikutnya adalah On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence, Secara umum tulisan ini bertujuan untuk membantah pemikiran Ignaz Goldziher dalam bukunya An Introduction to Islamic Law dan Schacht dalam bukuya The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Kedua buku tersebut, khususnya karya Schacht telah menjadi kiblat para orientalis lain yang membincangkan hukum Islam.
                Berangkat dari dua tulisan di atas, Azami tidak dapat dipisahkan dari konteks pemikiran hadis yang terjadi kala itu, baik di kalangan ulama muslim dan sarjana Barat. Tujuan dari kajian yang dilakukan Azami adalah menjelaskan dan membela hadis dari orang-orang yang akan meragukan keberadaannya sebagai hujjah hukum Islam. Ia dikelompokkan termasuk orang yang membela hadis dari serangan para sarjana Barat dan yang mengikuti pola pikir mereka yang bersikap skeptis terhadap hadis.
                 Karya lain Azami terkait metode kritik hadis dalam Islam tertuang dalam tulisannya Manhaj an-Naqd 'Inda al-Muhaddithin, Nash’atuhu wa Tarikhuhu. Menurut Azami, kritik hadis dalam Islam telah dimulai sejak masa sahabat. Para sahabat seringkali melakukan kritik terhadap sahabat lain dalam riwayat hadis. Kajian kritik hadis lebih cenderung memuat pendapat para ulama hadis terhadap kepribadian sahabat. Termasuk di dalamnya juga mengkritik pandangan orientalis seperti Goldziher, Schacht, A.J. Wensinck dan lainnya dalam melakukan kajian sanad dan matan hadis.
                Dalam buku Manhaj al-Naqd, Azami membahas berbagai persoalan terkait kritik hadis yang terbagi ke dalam enam bab. Beberapa karya tulis Azami lainnya lebih kepada bentuk pengeditan dan komentar, misalnya ia membuat catatan penting atas KitabTamyiz dalam Shahih Muslim yang diberi judul Introduction to Kitab Tamyiz. Dalam tulisan terakhir ini, ia banyak mengungkap pentingnya ilmu hadis dalam rangka menelusuri dan menjaga hadis-hadis Nabi saw. Menurut Azami, kitab Tamyiz ini adalah salah satu karya yang amat penting terkait metodologi kritik hadis.[6]
                Karya lain yang telah ia hasilkan dalam bidang hadits adalah Dirasat fi al Hadith al Nabawi, Kuttab al Nabi, Muhadditsinminal-Yamamah, Selain karya dalam bentuk buku, ada juga yang berupa suntingan: al illah of Ibnu al Madini, Kitab at Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of Urwah bin Zubayr, Muwaththai Imam Malik, Shahih Ibnu Khuzaimah, Sunan Ibnu Majah, Naskah Suhail bin Ab Shalih, Naskah Ubaidillah, dan Naskah Abu al Yaman. Selain itu, Azami juga mentahqiq kitab Shahih karyaIbnu Khuzaimah. Dalam buku ini ia berusaha menelusuri kebenaran setiap riwayat yang ada dalam karya Ibnu Khuzaimah tersebut.
              Setelah lama mapan dalam studi hadis, belakangan Azami merambah bidang studi lain, yaitu al-Quran. Inti kajiannya sama yakni menyangkal studi orientalis yang menyangsikan otentisitas Al-Quran sebagai kitab suci. Azami menulis buku The History of The Quranic Text from Revelation to Compilation: A Comparative Study with The Old and New Testament (2003), yang berisi perbandingan dengan sejarah Perjanjian Lama dan Baru. Dalam buku ini, ia banyak menyoroti pandangan orientalis yang selama ini dianggap benar terkait al-Qur’an.Selain dikenal dengan penelitian dan sumbangsihnya dalam menanggapi tuduhan orientalis, Azami juga dikenal sebagai sosok yang mempertahankan sunnah dari kalangan yang meragukannya (ingkar al-Sunnah). Penolakan Azami tersebut tidak hanya sekedar spekulasi, melainkan dengan megajukan bukti-bukti ilmiah, maka tidak berlebihan jika Ali Musthafa Yakub membandingkan jasa Azami dengan Syafii. Imam al Syafii pada masanya disebut Nashir al Sunnah sedangkan Azami pada masanya juga disebut sebagai pembela eksistensi hadits.[7]
                Semua karya-karya Azami ini menunjukan bahwa Azami merupakan ulama yang produktif sekaligus ulama yang sangat berpengaruh di zaman modern, yang memberikan warna baru baik di dunia Timur maupun di dunia Barat
3.        Pemikiran Hadis Muhammad Mustafa Azami

a.      Pengertian Sunnah dan Kedudukannya Menurut al-A'zami

Azami mendefinisikan sunnah secara bahasa sebagai tata cara, Sedang dalam al-Qur’an sendiri, menurutnya, kata sunnah dipakai untuk arti "cara dan tradisi".
Kemudian kata "sunnah" untuk arti terminologis dengan menambahkan "al" di depannya, diartikan sebagai "tata cara dan syari'at Rasulullah SAW" dan hal tersebut tidak berarti pengertian etimologisnya itu terhapus, sebab pengertian yang belakang ini hanya di pakai dalam arti yang sempit.[8]
Menurut al-Azamisunnah adalah sumber ajaran kedua setelah al-Qur’an sekaligus penjelas al-Qur’an yang bersifat globalKarena diantara tugas Rasulullah SAW  adalah menjelaskan hal–hal global dalam al-Qur’ān, baik dengan lisan maupun dengan perbuatan. Siapa yang menolak hadis, berarti ia sama saja menolak al-Qur’an.[9]

b.      Konsep 'adalah dan Penulisan Hadis Nabi (Tadwin)
Azami lebih cenderung mengatakan bahwa semua sahabat adalah 'udul. Iapun menyandarkannya pada pendapat Jumhur ulama terdahulu. Beberapa ulama terdahulu           Azami berpendapat, bahwa Hadits-hadits Rasul hanya di sebarkan secara lisan sampai abad pertama Hijriah. Khusus pada abad ke-3 merupakan masa yang sangat subur dan produktif dalam penulisan hadits, dan sistem penyusunannya juga sudahlebihbaikdaripadamasasebelumnya. Hingga pada masa sebelumnya di gabungkan dengan masa itu, sehingga sedikit saja yang tersisa. Kesimpulannya, tidak mungkin ada penulisan hadis pada abad pertama Hijriyyah.
Azami sendiri membenarkan telah adanya penulisan hadis Nabi di awal periode Islam. Mengenai pendapat golongan yang mengingkari fakta tersebut, Azami membantahnya dengan menyebutkan kesalahan dalam argumen semacam itu, yaitu :
1)      Misinterpretasitentang kata-kata Tadwīn, Tashnīf, dan Kitābah yang di pahamidalammaknadanpengertian yang samadalampencatatan.
2)      KesalahpahamantentangIstilah Haddatsana, Akhbarana, 'An, danlainnya yang diyakini di pakaiuntukperiwayatansecaralisan.
3)       Klaimbahwahafalan orang Arab adalahunik, sehinggamerekatidakperlumencatatsesuatuapapun di dalambuku.
4)      Sejumlah hadis Nabi sendiri yang bertentangan dengan kegiatan penulisan hadis.
5)      Misinterpretasi ungkapan atau pernyataan para ahli di awal masa perkembangan Islam yang berkaitan dengan penulisan hadis.[10]

c.       Seputar Otentisitas Hadits Nabi dan Periodesasinya
Periodisasi yang dirumuskan oleh Azami adalah penggalan-penggalan masa sejarah tentang perkembangan hadis, yaitu fase-fase yang telah ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak Rasulullah masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab yang dapat disaksikan hingga sekarang.
Dalam Disertasinya yang berjudul: Studies in Early Hadis Literature, Azami telah menyusun periodisasi sejarah dan perkembangan hadis, yaitu:
1)      Pra Classical Hadith Literature

Yaitu periodisasi sebelum dibukukannya hadis,masa ini terjadi mulai zaman Nabi sampai berakhirnya abad pertama Hijryah. Periode ini dibagi kepada 4 fase yaitu : Fase pertama, fase aktifnya para sahabat menerima dan menyampaikan hadisFase kedua, fase para tabi'in menerima dan meriwayatkan hadis dari para sahabatFase ketiga, fase tabi'it tabi'in menerima dan meriwayatkan dari tabi'in, dan Fase keempat, fase para guru dan ulama hadis mengajar dan menyampaian hadis.

2)      The Learning And Transmitting Of Hadis
Periodeinimulaisejakabad II Hijriyah, yaknisejakdikeluarkanyaperintahresmidarikhalifah Umar bin Abdul Aziz untukmembukukanhadis. Periode ini terbagi kedalam tiga fase yaitu :
Pertama,  terbagi menjadi 2 fase, yaitu:
 (1) Ahli hadis, dalam menyusun kitab-kitab hadis memuat juga ayat-ayat al-Qur’an, atsar-atsar sahabat dan tabi'in
 (2) Di semua kota besar yang masuk dalam daerah islam ada ahli-ahli hadisnya yang terkenal.
Kedua,  fase sampai awal abad II Hijriyah, pada Fase ini juga terbagi menjadi 2 fase, yaitu:
(1) Kitab-kitab hadis, Khusus hanya memuat Hadis Nabi saja
 (2) Susunan Hadis ada yang berdasarkan topik pembahasan masalah dan ada yang berdasarkan nama sahabat periwayat
Ketiga, Fasepadaabad II Hijriyahdanseterusnya, pada fase ini perkembanganhadisdarisegipenulisannya, pengkajiandanpembahasan, telahmencapaipuncaknya yang tertinggi.[11]

d.      PersyaratanuntukHadis Shahīh, hasan Li-Dzātihi, Hasan Li-GhairihidanHadis Mardūd.

Untuk syarat hadis shahih, Azami mengajukan beberapa persyaratan, yaitu:
1. Kontinuitas mata rantai (Isnad) harus terjaga
2. Tidak boleh ada syudzudz.
3.  Hadis tersebut tidak boleh mempunyai cacat yang tersembunyi.
Sementara untuk hadis Hasan Li-Dzātihi, ia mengatakan bahwa semua syarat-syarat yang di cantumkan untuk hadis shahih juga di syaratkan untuk hadis hasan Li-Dzatihi, kecuali bahwa para perawinya hanya termasuk kelompok keempat (shudūq) atau istilah lain yang setara dengan tingkatan tersebut.
Untuk Hadis Hasan Li-Ghairih, apabila perawi termasuk kedalam kelompok kelima atau keenam, dan ada hadis lain yang mendukungnya baik dari segi susunan matan atau yang semakna dengannya, hadis yang pertama disebut hadis hasan li-ghairihi. Di terimanya hadis secara keseluruhan adalah di dasarkan pada keberadaan Ulama' yang paling lemah. Jadi jika ada satu orang perawi yang lemah, maka hal itu berakibat pada lemahnya tingkatan hadis tersebut.[12]
Dalam Mengomentari tentang hadis yang di tolak (mardūd), Azami lebih spesifik menjelaskan kriteria hadis yang di tolak terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Penolakan yang di sebabkan oleh cacat yang ada pada diri perawi.
2. Kelemahan yang di akibatkan keterputusan Isnād. Dalam kategori ini, sebuah hadis mungkin disebut mursal, munqothi', dan mu'dhal, namun terkadang juga mauqūf dan maqthū'.
3.  kelemahan yang di akibatkan oleh sebab-sebab yang sepele. Yang termasuk dalam kategori ini adalah : maqlūb, mudtharib, dan mu'allal.[13]
e.       Naqd al-Hadits

Dalam bukunya Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, Azami nemasukkan beberapa aktifitas yang termasuk kateori kritik (naqd:
1. Menyeleksi (membedakan) antara Hadits shahih dan dha'if  serta menetapkan status perawinya dari segi kepercayaan atau cacat.[14]
2. Penetapan status cacat atau Adil  pada perawi hadits dengan bukti-bukti yang mudah di ketahui oleh para ahlinya, dan mencermati matan-matan hadits untuk tujuan mengakui validitas atau menilai lemah. Upaya untuk menyingkap kemusykilan pada matan hadits yangshahih serta mengatasi gejala kontradiksi antar matan dengan mengaplikasikan tolak ukur yang detail.[15]

C.      PENUTUP
Muhammad Mustafa Azami merupakan salah satu dari banyak para ilmuwan yang memberikan kontribusi terhadap Hadis Rasulullah SAW dalam memelihara dan menjaga dari kerusakan. Hal tersebut dapat dilihat dari karyanya yang begitu banyak yang menjelaskan tentang Ilmu Hadis maupun dalam bentuk argumen dan bantahan yang diberikan kepada para pembenci dan perusak hadis Nabi Muhammad SAW.  Diantara karyanya dalam bidang ilmu hadis, yaitu  Studies in Early Hadith Literature, On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, Studies in Hadith Methodology and Literature,Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhaddithin Nash’atuhu wa Tarikhuhu.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abbas, Hasjim. Kritik Matan Hadits Versi Muhadditsin dan Fuqhaha. Yogyakarta : Teras, Tt.
Al-Azami, M. Musthafa. Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin. Riyadh : al-Ummariyah, 1982.

Azami, M.M. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya. (Penerjemah: Ali Mustafa Yaqub, judul Asli: Dirasat fii al-Hadith al-Nabawii wa Tarikh Tadwinih). Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Cet., I.
Azami, Muhammad Mustafa. MetodologiKkritikHadis, (Penerjemah: Drs. A. Yamin). Jakarta Pusat :PustakaHidayah, Tt.
Ismail, M Syuhudi. PengantarIlmuHadis. Bandung : Penerbit Angkasa, Tt.



[1] Mahasiswa Prodi Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama Program Pascasarjana UIN Imam Bonjol Padang
[2]Prof. Dr. M.M. Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (penerjemah: Ali Mustafa Yaqub, judul Asli: Dirasat fii al-Hadith al-Nabawii wa Tarikh Tadwinih), ( Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994)., Cet., I., hal., 700
[3]Ibid.
[4]Ibid.
[5]Umaiyatus Syarifah, Op.cit., h. 225
[6]Ahmad Isnaeni,h. 123
[7]Umaiyatus Syarifah, 225
[8]Ibid., hal., 13
[9]Ibid., hal., 27
[10]Muhammad Mustafa Azami, MetodologiKritikHadits, (Jakarta Pusat : PustakaHidayah, Tt)., hal., 54
[11]M Syuhudi Ismail.PengantarIlmuHadis (Bandung : PenerbitAngkasa, Tt)., hal., 69-71
[12]Muhammad Mustafa Azami, Op. cit., hal., 102-104
[13]Ibid., hal., 105
[14]M. Musthafa al-Azami, Manhaj al-Naqd 'Inda al-Muhadditsin, (Riyadh : al-Ummariyah, 1982 )., hal., 5
[15]Drs. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadits Versi Muhadditsin dan Fuqhaha, (Yogyakarta : Teras, Tt)., hal., 9-11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Silabus Pengantar Studi Al-Qur'an dan Hadis